Suatu Perdebatan Klasik : Ultra Petita Dalam Jagat Keadilan dan Kepastian Hukum

About The Author

Rafli Fadilah Achmad adalah seorang mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2012. Saat ini, dia juga menjabat sebagai Hakim Anggota di Mahkamah Mahasiswa UI.
Putusan Mahkamah Konstitusi memang memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah timbulnya putusan yang bersifat ultra petita. Bahkan dalam sejarahnya, konsep Mahkamah Konstitusi itu sendiri pun lahir dari putusan yang ultra petita. Tentunya adalah Marbury vs Madison sebagai dalang utama dari adanya konsep Judicial Review pada tahun 1803 di Amerika Serikat. Dimana kala itu, ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshal memutus diluar dari apa yang dimohonkan oleh Permohon yaitu Hakim Marbury. Dalam peristiwa itu Marbury hanya meminta penempatannya sebagai hakim yang diatur dalam Keputusan Presiden untuk ditelaah lagi, akan tetapi Hakim Marshal sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat justru melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, padahal Marbury hanya meminta pembatalan Keputusan Presiden. Hal ini pula yang menjadi cikal bakal dan membuka cakrawala dunia akan pentingnya suatu peradilan konstitusi di dalam suatu negara hukum.

Berangkat dari fakta sejarah, jika berbicara dalam konteks hukum, putusan yang ultra petita memang menjadi diskusi hukum yang tidak ada habisnya, banyak pihak yang pro terhadap ultra petita dengan dalih sebagai jalan menuju keadilan substantif, tapi tak jarang pula yang kontra akan hadirnya ultra petita karena bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dapat menjadi suatu preseden buruk untuk membenarkan sebuah kesewenangan-wenangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh suatu lembaga negara.

Secara sederhana, ultra petita didefinisikan sebagai hakim menjatuhkan suatu putusan atas perkara melebihi dari apa yang dituntut atau diminta. Menoleh sedikit ke dalam hukum perdata, ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg, di dalam ketentuan tersebut secara gamblang melarang seorang hakim untuk memutus melebihi dari apa yang dituntut. Alasannya adalah sederhana, semua kembali kepada taat asas hukum bersifat pasif. Makna dari asas tersebut adalah majelis tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta oleh para pihak (ultra petita non cognoscitur). Namun kita tidak berhenti dalam perbincangan hukum perdata saja yang menitikberatkan pada hubungan hukum orang perorangan, pada kesempatan ini penulis lebih menguliti lebih mendalam mengenai ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi sebagai judicial control dalam kerangka check and balances.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa keberadaan ultra petita di Makhamah Konstitusi tidak sejalan dengan tradisi hukum yang Indonesia anut yaitu civil law. Dalam negara hukum dengan tradisi civil law makna keadilan yang paling ideal adalah lahir dari hukum tertulis (yang penting adalah pasti), berbeda dengan common law yang bertumpu pada prinsip judge made law (mengikuti dinamika keadilan yang hidup di masyarakat). Dengan adanya ultra petita maka hal tersebut mencerminkan ketidak konsistenan sistem hukum yang Indonesia telah dianut selama ini.

Selain itu juga, pada prinsipnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang sebatas untuk menguji undang-undang (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, dan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk suatu norma baru yang mengantikan norma lama (legislative review) karena hal itu merupakan tupoksi dari Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden selaku pembuat undang-undang. Meskipun pada akhirnya hal tersebut di bantah oleh Bapak Jimly dalam kelas Lembaga Negara Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kurang lebih beliau mengibaratkan ultra petita seperti memilih sebuah jalan di tiga persimpangan, dimana ada tiga pilihan yaitu memilih ke kanan, ke kiri, atau ke tengah. Ketika saya memilih jalan ke tengah, secara tidak langsung kita menolak untuk ke kanan dan ke kiri, meskipun pada akhirnya saya tidak memiliki niat untuk tidak memilih ke kanan dan ke kiri, tetapi hanya berniat untuk memilih jalur untuk ke tengah. Begitupun sebaliknya, ketika kita memilih ke kanan, pada akhirnya kita harus meniadakan jalan untuk ke tengah dan ke kiri, karena hal tersebut konsekuensi logis atas sebuah pilihan dan tidak bisa dinafikan begitu saja.

Maka dari itu, banyak para wakil rakyat yang tidak menghendaki adanya ultra petita pada Mahkamah Konstitusi. Untuk merealisasikan kehendaknya maka direvisi-lah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Denyut dari perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan yang bersifat ultra petita sebagaimana yang kerap kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 57 ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat :

a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

b. perintah kepada pembuat undang-undang

c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak lama berselang nyatanya Pasal 45 A dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011  tersebut di batalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011.

SEBUAH PENDIRIAN

Lalu ada dimanakah posisi saya berdiri saat ini? Perlu saya tegaskan di awal bahwa saya berdiri pada sisi yang mendukung putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada beberapa argumentasi yang terhimpun sebagai pijakan teoritis untuk menguatkan sikap yang saya pilih :

1. Larangan untuk memutus ultra petita adalah tidak sesuai dengan karakteristik hukum acara Mahkamah Konstitusi. Prinsip utama perkara pengujian undang-undang adalah untuk menegakan dan mempertahankan kepentingan konstitusional publik yang dijamin oleh konstitusi, hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum (erga omnes) dan teori fiksi hukum (segala warga negara sudah mengetahui adanya peraturan sejak diundangkan oleh instansi yang berwenang). Oleh karena itu, sudah jelaslah Hakim Konstitusi tidak boleh tersandera hanya pada kepentingan prosedural semata dan petitum yang diajukan. Hal ini dikarenakan disini Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab dan peran besar untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang sekiranya terlanggar karena diberlakukannya suatu Undang-Undang.

2. Larangan untuk memutus ultra petita adalah tidak sesuai dengan prinsip ex aequo et bono, meragukan independensi, dan kredibilitas Hakim sebagai seorang penafsir konstitusi. Jika di dalam permohonan sudah terdapat frasa yang menyatakan bahwa “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)…”, menurut hemat saya bahwa pemohon telah mentransformasikan harapannya sesuai dengan keadilan yang di pegang teguh oleh sang Hakim. Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono juga sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”. Selain itu juga, larangan ultra petita adalah bentuk keraguaan atas kredibilitas dan kompetensi seorang Hakim, bukankah seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang telah ditempa melalui proses “candradimuka” baik akademis, mental, karir, dan loyalitas hingga akhirnya dia dapat memegang amanah sebagai seorang Hakim dengan kasta “teratas”? Bukankah pula Hakim Konstitusi telah dipercaya pula oleh pengusungnya (Presiden/DPR/MA) sebagai penafsir konstitusi tunggal, yang putusannya final, dan binding ? Lalu, kenapa masih ragu?

3. Ultra petita membatasi aliran hukum responsif dan hukum progresif untuk berkembang. Mengutip dari ide yang dikembangkan oleh Phillipe Nonet dan Philip Selznick terkait responsifitas hukum, mereka mengungkapkan kritik pedas terhadap teori hukum yang lebih mengedepankan sisi formalitas dan mengesampingkan realitas. Gagasan tersebut lahir dari praktek hukum yang seringkali hadir untuk membatasi dan sangat rigid, alih alih mencari keadilan, justru hukum itu sendiri yang membatasi jalan menuju keadilan. Responsivitas hukum adalah suatu  upaya  menjawab  tantangan  untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial, dan hal itu bisa terancam dengan larangan terhadap ultra petita.

4. Konsep larangan ultra petita di Hukum Perdata sama sekali tidak apple to apple dengan Mahkamah Konstitusi.Di dalam  peradilan  perdata  pada  dasarnya  bertujuan  untuk melindungi  para  pihak  yang  dikalahkan  di dalam  proses  peradilan . Apabila  hakim  memutuskan  melebihi/  melampaui  apa  yang  dimohonkan  oleh penggugat  atau  tergugat  (apabila  tergugat  dimenangkan),  maka  akan  terjadi suatu  ketidakadilan  dan  suatu  kepastian.  Apabila  hal  tersebut  diterapkan maka  peradilan  perdata,  maka  ada  kesan  bahwa  hakim  berpihak  kepada salah  satu  pihak.  Lain  halnya  dengan  pengujian  konstitusional  yang  dilakukan oleh  MK.  pada  dasarnya  pengujian  konstitusional  bertujuan  untuk  mereduksi adanya  kerugian  hak  konstitusional  yang  akan  terjadi  dikemudian  hari  pasca terjadinya kerugian hak konstitusional  terhadap pemohon  dan/atau mencegah terjadinya  kerugian  hak  konstitusional  dikemudian  hari  tanpa  ada  kerugian konstitusional  yang  menyeluruh  yang  dilekatkan  kepada  pemohon.  Sedangkan, tujuan  hukum  acara  perdata  adalah  memutuskan  sengketa  dengan  didasari dengan  petitum  yang  disampaikan  penggugat. (Ibnu Sina, Jurnal Konstitusi Vol.9)

Mengutip pandangan dari L.J Van Apeldorn yang menyatakan bahwa sikap hakim perdata “tidak bisa ngapa-ngapain” hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

a. Inisiatif untuk beracara dalam hukum perdata, datangnya bukan dari hakim atau badan pemerintah. Akan tetapi dari pihak yang merasa dirugikan kepentingannya.

b. Sesuai dengan Pasal 227 B. Rv, para pihak memiliki kuasa penuh untuk menghentikan acara yang telah dimulainya, sebelum Hakim memberikan keputusan.

c. Objek sengketa yang menjadi pertimbangan hakim, hanya seluas dari apa yang diajukan oleh para pihak. Maka dari itu, Hakim hanya mempertimbangkan sebatas hal-hal yang diajukan oleh para pihak (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur).

d. Hakim perdata harus menguak dan menerima kebenaran formil, sedangkan Hakim Konstitusi harus menggali sampai ketitik kebenaran materiil.

e. Mahkamah Konstitusi menggunakan sistem permohonan pengujian terhadap suatu norma apakah absah pembentukan norma tersebut, sedangkan peradilan perdata bersifat tuntutan sengketa antara penggugat dan tergugat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.